Tangsel - Suasana panas menyelimuti kawasan Monumen Nasional pagi itu. Sekitar 750 pengepul minyak jelantah dari Jabodetabek mengerubungi patung emas ikon ibu kota sambil membawa 1.200 derijen bekas berisi limbah minyak goreng. Aksi demonstrasi Rabu (26/2/2025) ini menjadi klimaks protes terhadap Peraturan Menteri Perdagangan No.8/2025 yang membatasi ekspor limbah pabrik sawit dan minyak jelantah maksimal 25% dari produksi nasional. Gelombang ketidakpuasan ini menyoroti dilema kebijakan lingkungan versus keberlangsungan usaha mikro di tengah transisi energi hijau.

Aksi dimulai pukul 06.30 WIB dengan long march dari Stasiun Gambir menuju Monas. Barisan 15 truk pengangkut derijen minyak membentuk konvoi sepanjang 400 meter.


Ini bukan sekadar minyak sisa, ini nyawa kami! teriak S (Inisial) (45), koordinator aksi sambil menunjuk 50 drum berisi 12.000 liter minyak jelantah di atas bak terbuka. 


Puncak aksi terjadi pukul 10.00 WIB ketika massa membentuk formasi angka 25% menggunakan 300 derijen di pelataran Monas.


Tiap derijen kosong bertuliskan nama-nama daerah produsen: Bekasi 2.340 pengepul, *Tangerang 1.780 pengepul", *Karawang 920 pengepul". 

Spanduk sepanjang 25 meter bertuliskan *Stop Kebijakan Mencekik Leher Rakyat Kecil" terbentang di patung kuda Arjuna Wijaya. 


Aksi teatrikal memperlihatkan proses penyulingan minyak jelantah tradisional lengkap dengan peralatan pengolahan skala rumahan.


Di Balik Kebijakan Pengetatan Rasionalisasi Pemerintah

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dalam konferensi pers 15 Februari 2025 menjelaskan tiga alasan utama kebijakan: 

(1) Menjaga pasokan bahan baku biodiesel untuk memenuhi target B40, 

(2) Mencegah praktik illegal logging terselubung melalui ekspor limbah sawit,

(3) Mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri. 


Data Kementerian ESDM menunjukkan kebutuhan minyak jelantah untuk energi terbarukan akan mencapai 4,2 juta kiloliter pada 2026.


Perspektif Pengepul

Bagi Asosiasi Pengepul Minyak Jelantah DKI Jakarta (APMJ-DKI), kebijakan ini seperti memutus nadi perekonomian. *Sebelum aturan, kami bisa ekspor 500 liter/bulan ke Singapura dengan harga Rp8.000/liter. Sekarang kuota hanya 150 liter dengan harga Rp5.500/liter," keluh S (nama inisial) (38), pengepul dari Marunda. Mereka kehilangan Rp375 juta/bulan secara kolektif berdasarkan data asosiasi.


Penelusuran rantai pasok mengungkap kompleksitas bisnis minyak jelantah:

1. Pengepul tingkat desa membeli Rp2.000-Rp3.500/liter

2. Agen kabupaten menyuling dengan biaya Rp1.500/liter

3. Eksportir menjual Rp12.000-Rp15.000/liter ke pasar internasional

Kebijakan baru memangkas margin keuntungan pengepul dari Rp4.500 menjadi Rp1.200/liter berdasarkan survei APMJ-DKI.


Kebijakan ini bagai memeras ampas kelapa dua kali - pertama mengambil sari patinya untuk biodiesel, kedua memeras harapan hidup para pengepul kecil,  Aman






Post a Comment

Lebih baru Lebih lama